A. Pelaksanaan Pendidikan Agama Islam dalam
Sekolah
Pendidikan agama adalah unsur terpenting
dalam pendidikan moral dan pembinaan mental. Pendidikan moral yang paling baik
sebenarnya terdapat dalam agama karena nilai-nilai moral yang dapat dipatuhi
dengan kesadaran sendiri dan penghayatan tinggi tanpa ada unsur paksaan dari
luar, datangnya dari keyakinan beragama. Pendidikan agama di sekolah mendapat
beban dan tanggung jawab moral yang tidak sedikit apalagi jika dikaitkan dengan
upaya pembinaan mental remaja. Usia remaja ditandai dengan gejolak kejiwaan
yang berimbas pada perkembangan mental dan pemikiran, emosi, kesadaran sosial,
pertumbuhan moral, sikap dan kecenderungan serta pada akhirnya turut mewarnai
sikap keberagamaan yang dianut (pola ibadah).
Pada sekolah-sekolah yang menyiapkan peserta
didiknya menjadi ahli agama atau pemimpin agama seperti di madrasah atau
seminari, seluruh kegiatan pembelajaran umumnya benar-benar diarahkan untuk
mendukung tujuan pendidikan yang ada.
Terdapat tiga karakter sekolah yang terkait
dengan pendidikan agama di sekolah. Pertama sekolah negeri, kedua sekolah
swasta umum non yayasan agama dan sekolah swasta yayasan agama dan sekolah
calon ahli atau pimpinan agama seperti madrasah dan seminari. Varian karakter
ini awalnya terbentuk karena perbedaan sumber pembiayaan, pengawasan dan
otonomi sekolah, serta misi dan intervensi pada kurikulum. Dalam
perkembangannya dinamika sekolah juga turut mempengaruhi karakter sekolah. Tiga
karakter ini pada akhirnya juga terkait dengan persoalan multikulturalisme
dalam masyarakat.
Pada sekolah negeri dan sekolah swasta umum
non yayasan keagamaan, pada jam pelajaran agama siswa dipisah menurut agama
yang berbeda-beda. Selama puluhan tahun praktek pendidikan agama di sekolah
seperti ini belum ada yang memberikan perhatian secara serius bahwa pemisahan
siswa pada jam pelajaran agama adalah sebuah pembiasaan dan penanaman kesadaran
bahwa agama adalah sesuatu yang memisahkan (kebersamaan) manusia.
Di kalangan peserta didik di sekolah Negeri
pelajaran agama berlangsung lebih teratur dan siswa beragam agama hampir selalu
mendapatkan guru pelajaran agama sesuai dengan keyakinan para siswa karena
secara umum pemerintah mengusahakan guru agama bagi semua peserta didik.
Sebagai milik pemerintah, semua aktifitas pembelajaran di sekolah negeri
mengikuti secara penuh apa yang menjadi kebijakan pemerintah di bidang
pendidikan.
Pada sekolah-sekolah yang menyiapkan peserta
didiknya menjadi ahli agama atau pemimpin agama seperti di madrasah atau
seminari, seluruh kegiatan pembelajaran umumnya benar-benar diarahkan untuk
mendukung tujuan pendidikan yang ada. Sayangnya keseriusan pada satu bidang ini
menyebabkan kecenderungan kurang terbuka bagi pergaulan yang lebih luas, yang
dengan demikian membatasi pengalam dengan keragaman juga. Minimnya pengalaman
akan keragaman perlu dikaji apakah ada kaitannya dengan sensitivitas pada yang
berbeda. Sensitivitas pada yang berbeda hanya akan berkembang ketika ada
pengalaman dengan yang berbeda dan menggerti adanya perspektif yang berbeda
juga.
Di sekolah umum yayasan keagamaan di mana
biaya operasional secara umum ditanggung oleh yayasan dan wali murid, terdapat
kebijakan sekolah yang menunjukkan keunikan yayasan. Keunikan ini tampak dalam
penerimaan guru, hingga tambahan pelajaran maupun kegiatan ekstrakurikuler yang
mewadahi pemenuhan misi yayasan keagamaan melalui pendidikan.
Pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah
lebih banyak pada soal jaminan kualitas pendidikan, tetapi umumnya tidak
menyentuh pada soal keunikan sekolah yayasan keagamaan. Baru menjelang
penetapan Undang-Undang no.20 tentang Sistem Pendidikan Nasional tahun 2003,
banyak sekolah di bawah yayasan keagamaan yang merasa otonominya diganggu
terutama berkaitan dengan pasal 13 yang mewajibkan semua sekolah memberikan
pelajaran agama yang sesuai dengan agama yang dianut oleh siswa. Hingga tahun
2009 ini banyak sekolah yayasan keagamaan yang tidak bisa memenuhi tuntutan
pasal 13 UU no,20 tahun 2003 itu karena alasan teknis pembiayaan guru dan
alasan lain adalah menolak pelanggaran otonomi yayasan yang merasa tidak
memaksa siswa untuk masuk ke sekolah yang mempunyai keunikan tertentu.
Menurut teori pendidikan Islam, teori
pendidikan anak dimulai jauh sebelum anak diciptakan. Dalam hubungan ini orang
tua perlu menyadari betapa pentingnya pendidikan agama islam setiap anggota
keluargakhususnya bagi anak-anak. Pendidikan agama yang ditanamkan sedini
mungkin kepada anak-anak akan sangat berpengaruh positif terhadap pertumbuhan dan
perkembangan budi pekerti dan kepribadian mereka.
Posting Komentar