Macam Macam Kaidah Tafsir


Kaidah-kaidah tafsir yang berkembang dalam sejarah penafsiran al-Qur’an sangat beragam. Berdasarkan perkembangan tersebut, jika dipetakan kadiah-kaidah tafsir dapat dikelompokkan menjadi kaidah dasar, umum dan khusus.
1.  Kaidah Dasar Tafsir
Kaidah dasar berkaitan dengan penggunaan sumber pokok dalam menafsirkan al-Qur’an yang meliputi al-Qur’an, Hadis, penjelasan sahabat dan perkataan tabiin. Dalam kaidah dasar ini seorang mufasir pertama-tama harus kembali kepada al-Qur’an dengan meneliti secara cermat dalam rangka mengumpulkan ayat-ayat al-Qur’an tentang suatu pokok persoalan. Kemudian menghubungkan dan memperbandingkan kandungan ayat-ayat yang mengandung arti mujmal yang diperinci oleh ayat lain. Atau jika pada suatu ayat masalahnya disebut secara singkat, maka diperluas oleh ayat lain .
Kemudian mufasir juga harus memerhatikan hadis-hadis nabi. Bila mendapatkan hadis shahih, ia harus menafsirkan ayat berdasarkan hadis tersebut. Ia tidak dibenarkan untuk menafsirkannya menurut pendapatnya sendiri, dengan meninggalkan hadis tersebut. Selanjutnya, apabila terdapat penjelasan sahabat nabi untuk menafsirkan ayat al-Qur’an, ia harus menggunakan penjelasan tersebut sebagai dasar tafsirnya. Hanya saja mengingat banyak riwayat yang tidak benar dari sahabat, diperlukan kehati-hatian dan seleksi yang teliti.
Demikian juga dengan perkataan tabiin. Hanya saja keberadaan perkataan tabiin dalam menafsirkan al-Qur’an ini diperselisihkan. Ada yang berpendapat termasuk tafsir bi al-ma’sur dengan alasan bahwa itu diterima dari sahabat nabi. Namun ada juga yang menganggapnya sebagai tafsir bi al-ra’yi, seperti tafsir para mufasir lainnya setelah tabiin.

2. Kaidah Umum Tafsir
Kaidah khusus yang dimaksudkan di sini adalah seperangkat ilmu pengetahuan yang dibutuhkan oleh seorang mufasir dalam menafsirkan al-Qur’an. Ilmu-ilmu tersebut meliputi ilmu bahasa Arab, nahwu, sharaf, isytiqaq, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’), ushul fiqh, dan ilmu qiraat. Ilmu bahasa (linguistik) berfungsi untuk mengetahui kosa kata, konotasi dan konteks al-Qur’an. Melalui ilmu nahwu (tata bahasa), seorang mufasir akan mengetahui bahwa sebuah makna akan berubah seiring dengan perubahan i’rab. Dengan ilmu sharah (konyugasi), seorang mufasir dapat melihat bentuk, asal dan pola (shighat) sebuah kata. Sementara kaidah isytiqaq (derivasi kata, etimologi) digunakan untuk mengetahui akar atau kata dasar dari suatu kata. Sebab, jika diambil dari kata dasar yang berbeda, sebuah kata akan memiliki makna yang berbeda pula. Ilmu balaghah berperan dalam membimbing mufasir untuk mengetahui karakteristik susunan sebuah ungkapan yang dilihat dari makna yang dihasilkannya atau retorika (ma’ani), perbedaan-perbedaan maksudnya (bayan) dan sisi-sisi keindahan sebuah ungkapan (badi’). Adapun ilmu ushul fiqih dapat membantu mufasir dalam mempelajari cara pengambilan dan perumusan dalil-dalil hukum. Sedangkan ilmu qiraat digunakan oleh mufasir untuk mengetahui cara-cara melafalkan al-Qur’an.

Berikut ini adalah beberapa contoh penerapan kaidah penafsiran berdasarkan ilmu-ilmu tersebut.
Dhamir (kata ganti)
1. Kaidah yang berkaitan dengan dhamir terdari dari:
a. Pada dasarnya dhamir diletakkan untuk mempersingkat perkataan
b. Setiap dhamir harus punya marji’ sebagai tempat kembalinya
c. Pada dasarnya dhamir itu kembali pada tempat yang paling dekat
2. Penggunaan ism al-ma’rifat dan al-nakirat (ta’rif dan tankir)
Penggunaan ism al-ma’rifat mempunyai beberapa fungsi yang berbeda sesuai dengan macamnya;
a. Ta’rif dengan ism al-dhamir berfungsi untuk menunjukkan keadaan
b. Tarif dengan nama berfungsi untuk menghadirkan pemilik nama itu dalam hati
c. pendengar dengan cara menyebutkan namanya yang khas, memuliakan (Q.S. 48:29) dan juga menghinakan (Q.S. 111:1)
d. Ta’rif dengan ism al-isyarat (kata tunjuk) berfungsi untuk menjelaskan bahwa sesuatu yang ditunjuk itu jelas (Q.S. 31:11), menjelaskan keadaannya dengan menggunakan kata tunjuk jauh (Q.S. 2:5), menghinakan dengan memakai kata tunjuk dekat (Q.S. 29:64), memuliakan dengan memakai kata tunjuk jauh (Q.S. 2:2), dan mengingatkan bahwa sesuatu yang ditunjuk yang diberi beberapa sifat itu sangat layak dengan sifat yang disebutkan sesudah ism al-isyarat tersebut (Q.S. 2:2-5)
e. Ta’rif dengan ism al-mausul (kata ganti penghubung) berfungsi untuk menunjukkan tidak disukainya menyebutkan nama sebenarnya untuk menutupi atau sebab lain (Q.S. 12:23), untuk menunjukkan arti umum (Q.S. 29-69), untuk meringkas kalimat (Q.S. 33:69)
f. Ta’rif dengan alif-lam berfungsi untuk menunjukkan sesuatu yang sudah diketahui karena telah disebutkan (Q.S. 24:35), menunjukkan sesuatu yang sudah diketahui pendengar (Q.S. 48:18), menunjukkan sesuatu yang sudah diketahui karena ia hadir pada saat itu (Q.S. 5:3), mencakup semua satuannya (Q.S. 103:2), menunjukkan segala karakteristik jenis (Q.S. 2:2), menerangkan esensi, hakikat dan jenis (Q.S. 21:30).
3. Pengulangan kata benda (ism)
Apabila sebuah ism disebutkan dua kali maka dalam hal ini ada empat kemungkinan, yakni keduanya makrifah, keduanya nakirah, yang pertama nakirah sedang yang kedua makrifah , dan yang pertama makrifah dan yang kedua nakirah. Adapun kaidahnya adalah sebagai berikut:
a. Apabila kedua-duanya makrifah maka pada umumnya yang kedua adalah hakikat yang pertama (Q.S. 1:6-7)
b. Apabila keduanya nakirah, maka yang kedua biasanya bukan yang pertama (Q.S. 30:54)
c. Jika yang pertama nakirah dan yang kedua makrifah berarti, karena itulah yang sudah diketahui (Q.S. 73:15-16)
d. Jika yang pertama makrifah dan yang kedua nakirah, berarti apa yang dimaksudkan bergantung pada qarinah hal mana terkadang qarinah menunjukkan bahwa keduanya itu berbeda (Q.S. 39:27-28) 
4. Mufrad dan Jamak
Dalam al-Qur’an ada sebagian kata yang berbeda penggunaannya ketika berada dalam bentuk mufrad dan jamak. Adapun kaidahnya adalah sebagai berikut:
a. Kata al-rih, dalam bentuk jamak berarti rahmat, sedangkan dalam bentuk mufrad berarti adzab. Hal ini menunjukkan bahwa rahmat Allah dimaknai lebih luas dari pada adzab-Nya
b. Kata al-nur dan sabil al-haq selalu dalam bentuk mufrad, sedangkan kata al-dzulumat dan sabil al-bathil selalu dalam bentuk jamak. Ini menunjukkan bahwa jalan kebenaran hanya satu sedangkan jalan kebatilan sangat beragam. Kaidah yang sama juga berlaku untuk kalimat waliy al-mu’minin dan auliya al-kafirin.
5. Kata-kata yang seolah-olah sinonim (Mutaradif)
Dalam al-Qur’an banyak kata yang memiliki makna yang sama, namun seorang mufasir harus jeli dalam melihatnya, karena kata-kata tersebut seringkali memiliki makna yang berbeda. Beberapa kata yang termasuk dalam kaidah ini antara lain:
a. Al-khauf dan al-khasyyah yang berarti takut. Kata al-khasyah digunakan untuk menunjukkan rasa takut yang timbul karena agungnya pihak yang ditakuti meskipun pihak yang mengalami takut itu seorang yang kuat. Sedangkan kata al-khauf berarti rasa takut yang muncul karena lemahnya pihak yang merasa takut kendati pihak yang ditakuti itu merupakan hal yang kecil.
b. Al-syuhh dan al bukhl yang berarti kikir. Al-syuhh memiliki makna yang lebih dalam, yakni kikir yang disertai dengan ketamakan. Sedangkan al-bukhl hanya kikir saja.



Lebih baru Lebih lama