Rukun Hibah


Mayoritas Ulama memandang bahwa hibah memiliki empat rukun yaitu orang yang memberi (al-wahib), orang yang diberi (al-mauhub lahu), benda yang diberikan (al-mauhub) dan tanda serah terima (shighat). (lihat Mughni al-Muhtaj, 2/397 dan Kasyaf al-Qana' 4/299). Sedangkan mazhab Hanafiyah memandang rukunnya hanya satu yaitu shighat saja. (lihat al-Mabsuth 12/57 dan Badd'i ash-Shana'i 6/115).
a.      Pemberi (al-Wahib)
Dalam hibah disyaratkan al-Wahib beberapa svarat berikut:
1.Pemberi adalah seorang yang merdeka bukan budak. Pemberian yang dilakukan oleh seorang budak itu tidak sah. Karena dia dan semua  miliknya adalah milik tuannya.
Imam Ibnu Qudamah رحمه الله berkata, "Seorang hamba sahaya tidak boleh memberi hibah kecuali dengan izin tuannya,, karena dia adalah milik tuannya. Diperbolehkan bagi sang budak menerima hibah tanpa izin tuannya." (al-Mughni 8/256).
2.Pemberi adalah seorang yang berakal dan tidak sedang dihukum boikot (al-hajr) karena kurang akal atau gila.
3.
Pemberi telah mencapai usia baligh.
4.  Pemberi adalah pemilik sah barang yang dihibahkan (diberikan). Tidak boleh menghibahkan harta orang lain tanpa izin karena si pemberi tidak memiliki hak kepemilikan pada barang yang bukan miliknya.
(Diringkas dari al-Fiqhid Muyassar, hlm 297-298 dan lihat lebih lengkap pada Bada'i ash-Shana'i 6/118; al-Qawanin al-Fiqhiyah hlm. 315; Mughni al-Muhtaj 2/397; al-Mughni 4/315)
b.      Penerima Pemberian (al-Mauhub lahu)
Tidaklah terdapat persyaratan tertentu bagi pihak yang akan menerima hibah, sehingga hibah bisa saja diberikan kepada siapapun dengan beberapa pengecualian sebagai berikut:
Bila hibah terhadap anak di bawah umur atau orang yang tidak waras akal pikirannya, maka harus diserahkan kepada wali atau pengampu yang sah dari mereka.
c.      Barang yang dihibahkan (al-Mauhub)
Diantara syarat-syarat berkenaan dengan harta yang dihibahkan adalah:

1.         Barangnya jelas ada pada saat dihibahkan
Akad hibah (pemberian) suatu barang dinyatakan tidak sah, jika saat hibah, barang yang dihibahkan tidak ada. Misalnya, menghibahkan buah kebun yang akan ada dan berbuah tahun depan atau janin yang belum ada. Inilah pendapat mazhab Hanafiyah, Hanabilah dan Syafi'iyah. Imam Ibnu Qudamah رحمه الله berkata, 'Tidak sah hibah janin yang ada dalam perut dan susu yang masih belum diperas. Inilah pendapat Abu Hanifah رحمه الله, asy-Syafi'i رحمه الله dan Abu Tsaur رحمه الله, karena sesuatu yang dihibahkan itu belum ada dan tidak bisa diserahkan. (al-Mughni, 8/249).
2.         Barang yang dihibahkan sudah diserah terimakan, inilah pendapat mayoritas Ulama.
Imam an-Nawawi رحمه الله berkata, "Orang yang diberi hibah tidak bisa memiliki hibah tersebut kecuali setelah serah terima." (al-Majmu', Syarhul Muhadzdzab, 16/351)
3.         Benda yang dihibahkan adalah milik orang yang memberi hibah.
Tidak boleh menghibahkan milik orang lain tanpa izin pemiliknya. Syarat ini adalah syarat yang telah disepakati para ulama.



Sumber: Hibah Dalam Perspektif Fikih, oleh : Ustadz Kholid Syamhudi, Lc,  diambil dari Majalah As-Sunnah, ed. 07 th. xix_1437h/2015m, hal 7-10

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama