Penjelasan Mengenai Tafsir Al-Ma'tsur


Terminologi Tafsir Bil Ma'tsur 

Dr. Ibrahim mengungakapkan, definisi tafsir bil ma’tsur adalah penafsiran dengan cara mencari makna lafadz atau kalimat dalam al-Qur’an melalui “penukilan” yang termaktub dalam al-Qur’an, hadits, ungkapan para sahabat ataupu tabiin.
Dari definisi diatas kemudian dia merumuskan metode dan jenis tafsir bil ma’tsur. Metode dan jenis yang dia paparkan tidak jauh dari pengertian yang dia jabarkan diatas. Pertama, menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an. Kedua al-Qur’an dengan hadist. Ketiga al-Qur’an dengan astar sahabat. Dan, keempat al-Qur’an dengan astar para tabiin.http://wahyupena.blogspot.com/ - _ftn5
Sedangkan Dr. Shofwat, mendefinisikan tafsir bil bil ma’tsur sebagai sebuah penafsiran ayat-ayat suci al-Qura’n dengan cara “menukil” baik nukilan itu mutawatir ataupun tidak. Adapun metode yang diungkapkan oleh dia sama dengan apa yang dipaparkan dan diungkapkan oleh Dr. Ibrahim.http://wahyupena.blogspot.com/ - _ftn6
Sementara itu, tafsir bil ma’tsur dalam definisi Dr. Husain Dzahabi adalah keterangan yang datang dari al-Qur’an itu sendiri dan apa-apa yang “dinukil” dari nabi, sahabat, serta tabiin baik berupa penjelasan atau keterangan terhadap maksud ayat-ayat Allah yang termaktub dalam al-Qur’an.http://wahyupena.blogspot.com/ - _ftn7
Dia, Husain dzahabi, menjelaskan siklus tafsir bil ma’tsur menjadi dua, yang pertama bil riwayah dan yang kedua siklus kodifikasi. Pada siklus riwayah, proses terjadinya tafsir bil ma’sur ialah, nabi menerangkan isi kandungan al-Qur’an kepada para sahabat tentang makna-makna yang rumit dan buram. Pada siklus ini ada juga para sahabat yang tidak menerima riwayat langsung dari nabi, melainkan dari sesama sahabat yang lain. Sejalan dengan perkembangan waktu ditemukanlah para sahabat yang berbicara tentang tafsir Qur’an dengan apa yang telah diterangkan oleh nabi, bahkan ada juga yang berbicara tafsir Qur’an bersandar dan berdasar pada akal masing-masing. Ini semua tidak lepas dari kemampuan nalar akal para sahabat yang disinyalir merasa mumpuni dalam rangka mengejawentahkan makna al-Qur’an. Bukan hanya para sahabat yang mulai berani menafsirkan al-Qur’an, tabiin pada masa dimana nabi sudah tiada dan para masa sahabat berakhir juga mulai melakukan pengembangan tafsir. Maka kemudian mereka meriwayatkan penafsiran dari nabi dan para sahabat serta membubuhinya dengan pendapat mereka sendiri melalui ijtihad masing-masing. Demikianlah seterusnya, tafsir mengalami obesitas dengan munculnya berbagai ungkapan-ungkapan para tabiit tabiin yang semakin membuat eksigisi al-Qur’an semakin gemuk dari generasi ke generasi dan dari masa ke masa.
Pada masa berikutnya dimulailah babak baru dalam diskursus interpretasi al-qur’an, sikluss kodifikasi, siklus dimana penafsiran al-Qur’an tidak hanya dari mulut ke mulut. Pada masa ini, penafsiran al-Qur’an mulai dibukukan, akan tetapi pembukuan pada masa ini belum terkodifikasi secara rapi dan teratur, dan belum ada seorang pun yang membukukan penafsirannya. Mereka hanya menulis bahwa apa yang mereka pahami merupakan bagian tersendiri dari hadist.
Nah, setelah itu tafsir memisahkan diri dari hadist dan dibubukukan secara spesifik. Seperti halnya apa yang terdapat dalam kodifikasi Ali Bin Abi Thalhah, triloginya Muhammad Bin Tsur dan ensiklopedianya Ibnu Jarir al-Thabari dengan varian yang berbeda-beda antara yang satu dan yang lainya.http://wahyupena.blogspot.com/ - _ftn8
Dalam tafsir bil ma’tsur, para ulama sepakat bahwa landasan utama dan sumber asasi sebagai acuan dalam proses eksegisi adalah al-Qur’an, hadits, atsar sahabat dan tabiin.


Problematika Tafsir Al-Ma'tsur

a. Terminologi
Terminologi ilmiah dalam dunia keilmuan harus merupakan peristilahan yang jami’ dan mani’ agar tidak ada anasir-anasir yang membuat terminologi tersebut tergerus oleh kerancauan dan menghasilkan nilai yang sempurna, tidak ngambang seperti halnya terminologi tafsir bil ma’tsur. Dalam hal ini ada dua hal yang menyebabkan terminologi tafsir bil ma’tsur itu salah.
Pertama, karena penamaan tafsir itu sendiri dengan tafsir bil ma’tsur, memasukkan kata “dinukil” yang mempunyai arti dari orang sebelumnya dan pembagian jenis tafsir bil ma’tsur menjadi empat. Hal inilah yang menjadikan terminologi tafsir bil ma’tsur ini menjadi tidak dalam serta kelihatan rancau. Kesalahan ini karena arti ma’tsur itu sendiri adalah apa-apa yang diwarisi dari orang sebelumnya; nabi, sahabat dan para tabiit tabiin. Jika demikian adanya, bagaimana dengan jenis tafsir bil ma’tsur yang masuk dalam klasifikasi al-qur’an dengan al-qur’an? Bukankah penafsiran tersebut bukan dan tidak berasal dari orang sebelumnya, melainkan datang dari makna al-qur’an itu sendiri? Bukankah penafsiran dalam al-qur’an tidak ada “penukilan”?
Kedua, karena tidak ada kejelasan atas apa yang “dinukil”. Padahal, dalam dunia penafsiran sangat jelas dan gamblang bahwa tafsir bil ma’tsur adalah penafsiran yang tidak mengedepankan rasio sama sekali. Ini menandaskan, bahwa jika ada sebuah interpretasi terhadap sebuah teks-teks al-qur’an dimana pada proses interpretasinya ada penggunaan ana

Lebih baru Lebih lama