Telah dijelaskan bahwa akad hibah tidak sah kecuali setelah diserah terimakan menurut pendapat mayoritas Ulama. Hal ini menghasilkan akad hibah dari sisi kepermanenannya melalui dua fase:
1. Fase sebelum diserah-terimakan. Ketika itu, hibah belum bersifat permanen. Mayoritas Ulama berdalil dengan hadits Ummu Kultsum binti Abu Salamah رضي الله عنه yang menyatakan:
لَمَّا تَزَوَّجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُمَّ سَلَمَةَ , قَالَ لَهَا : إِنِّي قَدْ أَهْدَيْتُ إِلَى النَّجَاشِيِّ حُلَّةً وَأَوَاقِيَّ مِنْ مِسْكٍ، وَلَا أَرَى النَّجَاشِيَّ إِلَّا قَدْ مَاتَ، وَلَا أَرَى إِلَّا هَدِيَّتِي مَرْدُودَةً عَلَيَّ، فَإِنْ رُدَّتْ عَلَيَّ , فَهِيَ لَكِ: قَالَ: وَكَانَ كَمَا قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَرُدَّتْ عَلَيْهِ هَدِيَّتُهُ، فَأَعْطَى كُلَّ امْرَأَةٍ مِنْ نِسَائِهِ أُوقِيَّةَ مِسْكٍ، وَأَعْطَى أُمَّ سَلَمَةَ بَقِيَّةَ الْمِسْكِ وَالْحُلَّةَ.
Ketika Rasulullah صلى الله عليه وسلم menikahi Ummu Salamah رضي الله عنه, Beliau صلى الله عليه وسلم berkata kepadanya, "Sungguh aku telah memberikan hadiah kepada Najasyi berupa pakaian dan beberapa botol misk dan saya yakin Najasyi sudah wafat dan hadiahku tersebut akan dikembalikan kepadaku. Apabila dikembalikan kepadaku maka itu menjadi milikmu." Ummu Kultsum رضي الله عنه berkata, ''Dan terjadilah seperti yang Rasulullah صلى الله عليه وسلم katakan dan dikembalikan hadiahnya kepada Beliau, lalu Beliau صلى الله عليه وسلم memberikan setiap istrinya sebotol minyak misk dan memberikan sisa minyak misk dan pakaian kepada Ummu Salamah (HR. Ahmad dan Ibnu Hibban, namun hadits ini dihukumi lemah oleh Syaikh al-Albani dalam al-Irwa', no. 1620).
Juga karena hibah adalah akad tabarru' (nirlaba), seandainya sah tanpa serah terima, tentulah yang diberi hibah memiliki hak untuk menuntut pemberi hibah agar menyerahkan hadiah tersebut kepadanya, sehingga menjadi seperti akad dhaman (ganti rugi). Ini tidak sesuai. Ditambah lagi penarikan hibah sebelum terjadi serah terima menunjukkan si pemberi hibah tidak ridha dengan pemberian tersebut. Apabila dipaksa harus menyerahkan, maka sama dengan mengeluarkan harta tanpa keridhaan. Ini bertentangan dengan tabiat hibah itu sendiri.
2. Fase setelah terjadi serah terima. Hibah dalam keadaan seperti ini bersifat permanen dan mengikat sehingga tidak boleh ditarik kembali, sebagaimana dilarang Rasulullah dalam sabda Beliau صلى الله عليه وسلم:
وَالْعَائِدُ فِي هِبَتِهِ كَالْكَلْبِ يَعُوْدُ فِي قَيْئِهِ
Orang yang menarik kembali hibahnya seperti anjing yang menjilat kembali muntahnya. (HR. Al-Bukhari).
Juga sabda Beliau صلى الله عليه وسلم:
لا يَحِلُّ لِرَجُلٍ أَنْ يُعْطِيَ عَطِيَّةً أَوْ هِبَةً ثُمَّ يَرْجِعُ فِيهَا، إِلا الْوَالِدَ فِيمَا يُعْطِي وَلَدَهُ
Tidak diperbolehkan bagi seorang yang memberikan pemberian atau hibah kemudian ia menarik kembali pemberiannya kecuali pemberian orang tua kepada anaknya. (HR Ahmad, Ibnu Hibban dan Abu Dawud. Hadits ini dinilai shahih oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih al-Jami', no. 2775).
Dengan demikian jelaslah setelah serah-terima, hibah menjadi milik yang diberi dan dilarang menarik kembali.
Sumber: Hibah Dalam Perspektif Fikih, oleh : Ustadz Kholid Syamhudi, Lc, diambil dari Majalah As-Sunnah, ed. 07 th. xix_1437h/2015m, hal 11-14
Posting Komentar