Etika dan Kebaikan Islam Dalam Berkendara


Memiliki kendaraan, tentu mendatangkan kebahagian dan kebanggan, terlebih-lebih bila kendaran bagus, indah dan mewah. Allah Ta’ala berfirman:

“Dan kuda,  baghal (hewan hasil silang antara kuda dan keledai), dan keledai untuk kalian tunggangi dan menjadi perhiasan bagimu. Dan Allah menciptakan apa (tunggangan-tunggangan lain) yang tidak kamu ketahui.” (QS. An-Nahl/16: 8)

Dalam ayat ini Allah mengutarakan bahwa kendaraan sebagai perhiasaan. Ini mengisyaratkan bahwa ketika menunggangi kendaraan, semakin nampak tampan dan sempurna. Karena itu, sejak dahulu kala, umat manusia berbangga-bangga dengan kendaraan yang mereka miliki.

Fakta ini, tentu rentan membangkitkan keangkuhan dan kesombongan pada diri. Terlebih-lebih ketika dengan kendaraan yang mewah melintasi orang yang lain yang sedang berjalan kaki. 
Untuk mengikis habis kebanggaan dan keangkuhan yang tumbuh dalam hati, Islam mengajarkan untuk bersikap rendah hati. Kerendahan hati dapat tercapai dengan beberapa hal:

1.  Mendahului pejalan kaki dengan ucapan salam
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Hendaknya pengendara lebih dahulu mengucapkan salam kepada pejalan kaki, dan pejalan kaki labih dahulu mengucapkan salam kepada yang sedang duduk, dan yang berjumlah sedikit lebih dahulu mengucapkan salam kepada yang berjumlah banyak.” (Muttafaqun ‘alaih)
Ibnu Hajar Al Asqalani berkata: “Penunggang kendaraan dianjurkan untuk lebih dahulu mengucapkan salam, agar ia terhindar dari kesombongan karena kendaraan yang ia tunggangi. Dengan demikian ia dapat menjaga kerendahan hatinya.” (Fathul Bary, 11/17).
Ketika sedang berjalan kaki, dan tiba-tiba ada pengendara mobil mewah mengurangi kecepatan laju kendaraannya dan dengan suara yang santun mengucapkan salam kepada anda. Apa dan bagaimana kesan yang timbul dalam hati ketika itu? Tentu sangat senang dan bahagia.


2.  Memboncengkan orang lain yang membutuhkan
Diantara bukti akan kerendahan hati adalah ketika mengendarai kendaraan  dengan memboncengkan orang lain yang membutuhkannya. Terlebih-lebih bila tujuannya searah atau bedekatan dengan tempat tujuan.
Demikianlah dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa melakukan dengan para sahabatnya ketika beliau menunggangi kendaraan. Diantaranya ketika beliau berkendaraan dari padang Arafah menuju Muzdalifah, beliau memboncengkan Usamah bin Zaid radhiallahu ‘anhu. Dan ketika esok harinya beliau memboncengkan sahabat Fadhel bin Abbas radhiallahu ‘anhuma hingga tiba di mina. Dan pada lain kesempatan, beliau mengendari keledai dan memboncengkan sahabat Mu’adz bin Jabal radhiallahu ‘anhu di atasnya. Kedua kisah ini diriwayatkan oleh imam Bukhari dan Muslim
Syeikh Abdurrahman bin Hasan At Tamimi berkata: Pada kisah ini terdapat isyarat tentang kerendahan hati beliau. Beliau tidak merasa sungkan untuk mengendarai keledai dan memboncengkan orang lain. Tentu ini menyelisihi kebiasaan orang-orang yang bersifat angkuh lagi sombong. (Fathul Majid 47)


Oleh : Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri MA
Sumber: Web STDI Imam Syafi Jember www.stdiis.ac.id
e-Book yang didownload dari www.ibnumajjah.wordpress.com

Post a Comment

أحدث أقدم