Usia haid biasanya antara 12 sampai 50 tahun dan kemungkinan seorang wanita sudah mendapatkan haid sebelum usia 12 tahun, atau masih mendapatkan haid sesudah usia 50 tahun.
Itu semua tergantung pada kondisi, lingkungan dan iklim yang mempengaruhinya. Para ‘ulama, berbeda pendapat tentang apakah ada batasan tertentubagi usia haid, di mana seorang wanita tidak mendapatkan haid sebelum atau sesudah usia tersebut ? Ad Darimi, setelah menyebutkan pendapat-pendapat dalam masalah ini, mengatakan : “ hal ini semua, menurut saya keliru. Sebab, yang menjadi acuan adalah keberadaan darah. Seberapa pun adanya, dalam kondisi bagaimanapun, dan pada usia berapapun, darah tersebut wajib dihukumi sebagai darah haid dan hanya Allah Yang Maha Tahu”. Pendapat Ad Darimi inilah yang benar dan menjadi pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Jadi kapanpun seorang wanita mendapatkan darah haid berarti ia haid, meskipun usianya belum mencapai 9 tahun atau di atas 50 tahun. Sebab Allah subhaanahu wa ta’aala dan Rasul-Nya mengaitkan hukum-hukum haid pada keberadaan darah tersebut. Maka dalam masalah ini , wajib mengacu kepada keberadaan darah yang telah dijadikan sandaran hukum. Adapun pembatasan pada masalah di atas tidak ada satupun dalil yang menunjukkan hal tersebut.
Dalam pembahasan masa Haid ini para ‘ ulama berbeda pendapat dalam menentukan masa atau lamanya haid. Ada sekitar enam atau tujuh pendapat dalam hal ini. Ibnu Al Mundzir mengatakan : “ Ada kelompok yang berpendapat bahwa masa haid tidak mempunyai batasan berapa hari minimal atau maksimalnya”. Pendapat ini seperti pendapat Ad Darimi di atas dan menjadi pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Dan itulah yang benar berdasarkan Al Qur’an, Sunnah dan logika.
Firman Allah subhaanahu wa ta’aala :“ Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah : “ haid itu adalah suatu kotoran”, oleh sebab itu , hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid, dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci…” (QS. Al Baqarah : 222)
Dalam ayat ini, yang dijadikan Allah sebagai batas akhir larangan adalah kesucian, bukan berlalunya sehari semalam, atau tiga hari, ataupun lima belas hari. Hal ini menunjukkan bahwa illat ( alasan ) hukumnya(larangan menjauhui istri) adalah haid, yakni ada atau tidaknya.
Jadi, jika ada haid berlakulah hukum itu dan jika telah suci ( tidak haid) tidak berlaku lagi hukum-hukum haid tersebut. Diriwayatkan dalam shahih Muslim bahwa Nabi Muhammad shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Aisyah yang mendapatkan haid ketika dalam keadaan Ihram untuk umrah : " افعلي ما یفعل الحاج غير أن لا تطوفي بالبيت حتى تطهري " “lakukankanlah apa yang dilakukan jamaah haji, hanya saja jangan melakukan thawaf di Ka’bah sebelum kamu suci”( HR. Muslim :4/ 30)
Kata Aisyah: “ Setelah masuk hari raya kurban, barulah aku suci”. Dalam shahih Al- Bukhari, diriwayatkan bahwa Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Aisyah : " انتظري، فإذا طهرت فاخرجي إلى التنعيم " “Tunggulah, jika kamu suci, maka keluarlah ke tan’im”.
Dalam hadits ini, yang dijadikan Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam sebagai batas akhir larangan adalah kesucian, bukan suatu masa tertentu, ini menunjukkan bahwa hukum tersebut berkaitan dengan haid, yakni ada dan tidaknya. Logika atau qiyas yang benar dan umum sifatnya. Yakni, bahwa Allah menerangkan illat ( alasan ) haid sebagai kotoran. Maka manakala haid itu ada, berarti kotoranpun ada. Tidak ada perbedaan antara hari kedua dengan hari pertama, antara hari keempat dengan hari ketiga. Juga tidak ada perbedaan antara hari ke enam belas dengan hari ke lima belas, atau hari kedelapan belas dengan hari ke tujuh belas. Haid adalah haid dan kotoran adalah kotoran. Dalam kedua hari tersebut terdapat illat yang sama. Jika demikian, bagaimana mungkin dibedakan dalam hukum di antara kedua hari itu, padahal keduanya sama dalam illat? Bukankah menurut Qiyas yang benar bahwa kedua hari tersebut sama dalam hukum karena kesamaan keduanya dalam illat?. Adanya perbedaan dan silang pendapat di kalangan ulama yang memberikan batasan menunjukkan bahwa dalam masalah ini tidak ada dalil yang harus dijadikan patokan. Namun semua itu merupakan hukum-hukum ijtihad yang bisa salah dan juga bisa benar, tidak ada satu pendapat yang lebih patut diikuti dari pada lainnya. Dan yang menjadi acuan bila terjadi perselisihan pendapat adalah Al-Qur’an dan Sunnah. Jika ternyata pendapat yang menyatakan tidak ada batas minimal atau maksimal haid adalah pendapat yang kuat dan yang rajih, maka perlu diketahui bahwa setiap kali wanita melihat darah alami, bukan di sebabkan luka atau lainnya, berarti darah itu darah haid, tanpa mempertimbangkan masa atau usia. Kecuali jika keluarnya darah itu terus menerus tanpa henti atau berhenti sebentar saja seperti sehari atau dua hari dalam sebulan, maka darah tersebut adalah darah istihadhah dan akan dijelaskan Insya Allah, tentang istihadhah dan hukum-hukumnya.
Usia dan Masa Haid Sumber : “Darah Kebiasaan Wanita”, karya Syaikh Muhammad bin Shaleh Al’Utsaimin, Penerjemah Muhammad Yusuf Harun, hal 6-11
إرسال تعليق