1. Bertambah atau berkurangnya masa haid. Misalnya, seorang wanita biasanya haid selama enam hari, tetapi tiba tiba haidnya berlangsung sampai tujuh hari.atau sebaliknya, biasanya haid selama tujuh hari, tetapi tiba-tiba suci dalam masa enam hari.
2. Maju atau mundur waktu datangnya haid. Misalnya, seorang wanita biasanya haid pada akhir bulan lalu tiba-tiba haid datang pada awal bulan. Atau biasanya haid pada awal bulan, lalu tiba-tiba haid datang pada pada akhir bulan. Para ulama berbeda pendapat dalam menghukumi kedua hal di atas. Namun pendapat yang benar, bahwa seorang wanita jika mendapatkan darah ( haid) maka dia dalam keadaan haid dan jika tidak mendapatkannya berarti dia dalam keadaan cuci, meskipun masa haidnya melebihi atau kurang dari kebiasaannya. Dan telah disebutkan dalam pasal terdahulu dalil yang memperkuat pendapat ini, yaitu bahwa Allah telah mengaitkan hukum-hukum haid dengan keberadaan haid. Pendapat tersebut merupakan madzhab Imam Asy Syafii dan menjadi pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Pengarang kitab Al Mughni pun ikut menguatkan pendapat ini dan membelanya, ia berkata: “Andikata adat kebiasaan menjadi dasar pertimbangan, menurut yang disebutkan dalam madzhab, niscaya dijelaskan Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam kepada umatnya dan tidak akan ditunda-tunda lagi penjelasannya, karena tidak mungkin beliau menunda-nunda penjelasan pada saat dibutuhkan. Istri-istri beliau dan kaum wanita lainnya pun membutuhkan penjelasan itu pada setiap saat, maka beliau tidak akan mengabaikan hal itu. Namun, ternyata tidak ada riwayat yang menyatakan bahwa Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam pernah menyebutkan tentang adat kebiasaan ini atau menjelaskannya kecuali yang berkenaan dengan wanita yang istihadhah saja.
3. Darah berwarna kuning atau keruh Yakni seorang wanita mendapatkan darahnya berwarna kuning seperti nanah atau keruh antara kekuning-kuningan dan kehitam-hitaman. Jika hal ini terjadi pada saat haid atau bersambung dengan haid sebelum suci, maka itu adalah darah haid dan berlaku baginya hukum-hukum haid. Namun jika terjadi sesudah masa suci, maka itu bukan darah haid. Berdasarka riwayat yang disampaikan oleh ummu Athiyah Radhiyalluhu ‘Anha : " آنا لا نعد الصفرة والكدرة بعد الطهر شيئا" “ Kami tidak menganggap sesuatu apapun ( haid ) darah yang berwarna kuning atau keruh sesudah masa suci” hadits ini diriwayatkan Abu Dawud dengan sanad shahih. Diriwayatkan pula oleh Al Bukhari tanpa kalimat “ sesudah masa suci” , tetapi beliau sebutkan dalam “ Bab Darah Warna Kuning Atau Keruh Di luar Masa Haid” dan dalam fathul Baari dijelaskan : “itu merupakan isyarat Al Bukhari untuk memadukan antara hadits Aisyah yang menyatakan, “ sebelum kamu melihat lendir putih” dan hadits Ummu Athiyah yang disebutkan dalam bab ini, bahwa maksud hadits Aisyah adalah saat wanita mendapatkan darah berwarna kuning atau keruh pada masa haid. Adapun di luar masa haid, maka menurut apa yang disampaikan Ummu Athiyah”. Hadits Aisyah yang di maksud yakni hadits yang disebutkan oleh Al Bukhari pada bab sebelumnya, bahwa kaum wanita pernah mengirimkan kepadanya sehelai kain berisi kapas ( yang digunakan wanita untuk mengetahui apakah masih ada sisa noda haid ) yang masih terdapat padanya darah berwarna kuning, maka Aisyah berkata : “janganlah tergesa-gesa sebelum kamu melihat lendir putih” maksudnya cairan putih yang keluar dari rahim pada saat habis masa haid.
4. darah haid keluar secara terputus-putus Yakni sehari keluar darah dan sehari tidak keluar. Dalam hal ini terjadi 2 kondisi:
a. jika kondisi ini selalu terjadi pada seorang wanita setiap waktu, maka darah itu adalah darah istihadhah.
b. jika kondisi ini tidak selalu terjadi pada seorang wanita tetapi kadang kala saja datang dan dia mempunyai saat suci yang tepat. Maka paraulama berbeda pendapat dalam menentukan kondisi ketika tidak keluar darah. Apakah hal ini merupakan masa suci atau termasuk dalam hukum haid ? Madzhab Imam Asy Syafii, menurut salah satu pendapatnya yang paling shahih, bahwa hal ini masih termasuk dalam hukum haid, pendapat ini pun menjadi pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan pengarang kitab Al Faiq, juga merupakan madzhab Imam Abu Hanifah. Sebab, dalam kondisi seperti ini tidak didapatkan lendir putih; kalaupun dijadikan sebagai keadaan suci berarti yang sebelumnya adalah haid yang sesudahnyapun haid, dan tak ada seorangpun yang menyatakan demikian, karena jika demikian niscaya masa iddah dengan perhitungan Quru’ ( haid atau suci ) akan berahir dalam masa lima hari saja. Begitu pula jika dijadikan sebagai keadaan suci, niscaya akan merepotkan dan menyulitkan karena harus mandi dan lain sebagainya setiap dua hari ; padahal syariat tidaklah itu menyulitkan. Walhamdulillah.
Adapun yang masyhur menurut madzhab pengikut Imam Ahmad bin Hambal, jika darah keluar berarti darah haid dan jika berhenti berarti suci ; kecuali apabila jumlah masanya melampaui jumlah maksimal masa haid, maka darah yang melampaui itu adalah darah Istihadhah. Dikatakan dalam kitab Al Mughni : “ jika berhentinya darah kurang dari sehari maka sayogyanya tidak dianggap sebagai keadaan suci. Berdasarkan riwayat yang kami sebutkan berkenaan dengan nifas, bahwa berhentinya darah yang kurang dari sehari tak perlu diperhatikan. Dan inilah yang shahih, insyaallah.
Sebab, dalam keadaan keluarnya darah yang terputus-putus ( sekali keluar sekali tidak ) bila diwajibkan mandi bagi wanita pada setiap saat berhenti keluarnya darah tentu hal itu menyulitkan, padahal Allah subhaanahu wa ta’aala berfirman : “ … dan Dia ( Allah ) sekali-kali tadak menjadikan untuk kamu agama suatu kesempitan …” (QS. Al Hajj : 79 ). Atas dasar ini, berhentinya darah yang kurang dari sehari bukan merupakan keadaan suci kecuali jika si wanita mendapatkan bukti yang menunjukkan bahwa ia suci. Misalnya, berhentinya darah tersebut pada akhir masa kebiasaannya atau ia melihat lendir putih ( Al Mughni, juz : 1, Hal : 355)
5. Terjadi pengeringan darah. Yakni, si wanita tidak mendapatkan selain merasa lembab atau basah (pada kemaluannya) Jika hal ini terjadi pada saat masa haid atau bersambung dengan haid sebelum masa suci, maka dihukumi sebagai haid. Tetapi jika terjadi setelah masa suci , maka tidak termasuk haid. Sebab, keadaan seperti ini paling tidak dihukumi sama dengan keadaan darah berwarna kuning atau keruh.
Hal-hal diluar Kebiasaan Haid Sumber : “Darah Kebiasaan Wanita”, karya Syaikh Muhammad bin Shaleh Al’Utsaimin, Penerjemah Muhammad Yusuf Harun, hal 11-14 Ada beberapa hal yang terjadi di luar kebiasaan haid:
Posting Komentar